Sekitar 57 tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Desember 1952,dimulai tren film 3D di bioskop. Namun, hanya dalam dua tahun, tren tersebut meng hilang, terutama karena masalah teknik yang digunakan. Efek 3D tidak terlalu mengesankan, yang terlihat hanyalah gambar bayang-bayang apabila kepala sedikit bergerak. Bahkan, banyak penontonyang sakit kepala saat melihat tayangan 3D tersebut. Pada bioskop-bioskop IMax, efek 3D memang masih ada, namun hanya untuk film-film pendek.
Tidak ada 3D untuk feature film yang berdurasi 90 menit atau lebih. Tampaknya kondisi ini akan segera berubah. Semakin banyak produsen dan studio film yang memproduksi film baru mereka tidak hanya dalam 2D, tetapi juga dalam format 3D.
Bahkan, studio film Pixar dan DreamWorks menerapkan 3D sebagai standar film animasi mereka, seperti pada film terbaru mereka Bolt dan Monsters vs. Aliens. Teknologi dan teknik film 3D kini sudah jauh berbeda dari teknik yang diaplikasikan pada 57 tahun yang lalu. Pada kesempatan kali ini, CHIP akan mengulas teknologi home theater di rumah dan korelasinya dengan film 3D.
Kehadiran film berteknologi 3D yang tengah tren nyatanya tidak hanya menghadirkan suasana semarak saat menonton. Dibalik itu, film 3D ternyata bisa menghadirkan efek negatif sebagian orang. Apakah itu?
Efek negatifnya bukan lantaran tampilan darah yang mirip sebenarnya sehingga membuat penonton mual melainkan pengaruh film 3D pada otak memunculkan gejala mual, pusing dan lainnya. Sekitar 5% dari populasi mengalami masalah pada mata saat menonton film 3D. Kendati berakhir kepala pusing-pusing, tetap saja tidak menghilangkan keinginan penonton untuk menyaksikan film berteknologi 3D seperti Avatar atau Alice In Wonderland.
Dr. James J. Salz, Clinical Professor of ophthalmology, University of Southern California in Los Angeles sekaligus juru bicara American Academy of Ophthalmology mengatakan ketika masyarakat menyaksikan film 3D, mata diharuskan bekerja keras untuk mendapatkan gambar yang jelas. " Itulah mengapa setiap menonton film 3D diwajibkan menggunakan kacamata khusus yang menggabungkan dua gambar," ujarnya seperti dikutip dari Healthday, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, mantan rekan kerja Salzs, Dr. Julian Gunzberg berpendapat untuk mendapatkan efek gambar 3D harus menggunakan dua jenis kamera dan dua angle berbeda. Teknik ini telah digunakan pada film House of Wax. Secara terpisah Jeffrey Anshel, optometrist VSP Vision Care dan the principal of Corporate Vision Consulting, Encinitas, California, menyatakan hanya 30% dari mata penonton yang mampu berkordinasi dengan baik untuk melihat efek 3D dalam film, apalagi mata harus melihat layar yang demikian besar.
Akibatnya, sebagian penonton mengalami sakit kepala dan mata berkunang usai menonton. "Persoalan muncul ketika masyarakat telah menggunakan kacamata khusus namun kinerja kordinasi mata begitu buruk," katanya. Menanggapi hal itu, Salz menambahkan, ketika masyarakat menonton, beban kerja mata semakin berat. Otak mengirimkan lebih banyak impuls untuk menjaga mata tetap awas. "Saat otak meminta mata untuk memandangi efek 3D, mata anda menjadi tegang dan kemudian menjadi sakit," tuturnya. "Film Avatar meminta mata anda untuk tetap bekerja setidaknya selama 2 jam 40 menit.
Tidak mengejutkan ketika penonton tidak begitu senang dengan pengalaman mereka menonton film 3D," tambahnya. Pendapat senada disampaikan Dr. Robert Wiprud, associate professor of family and community medicine, Texas A&M Health Science Center College of Medicine sekaligus director of family medicine at the Scott & White Clinic, College Station, Texas. Ia menilai, saat individu menonton film 3D, pada otak terjadi input yang berlawanan dengan bagian tubuh lain. Pada organ mata, tekanan terjadi secara ekstrim, dan tekanan itu terjadi pada sistem vestibular di organ telinga bagian dalam.
Sistem Vestibular ini merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. "Ketika kita bergerak dalam arahan yang jelas, cairan mengalir menuju sel rambut, membuat semacam impuls elekrik yang berjalan melawati tulang tengkorang menuju otak, dan otak segera memberikan balasan berupa pilihan apakah anda tetap duduk atau bergerak," paparnya. "Sebagian besar waktu, semua infomasi itu ditambahkan dan menyakinkan otak.
Tetapi ketika anda menonton film 3D, terjadi konflik antara mata yang melihat dengan sistem vestibular sebagai sistem sensorik. Mata seolah berkata kepada anda bahwa anda terbang ke udara sementara sistem vestibular mengatakan sebaliknya, " tidak, kita harus duduk disini, salah bila anda bergerak,".
Pada anda yang sensisitif, akan memicu rasa mual dan sakit kepala," tambahnya. Wiprud menilai, otak anda tidak berkenan dengan konflik signal antara mata dan sistem vestibular. Sebuah film biasa tidaklah membodohi mata anda secara berlebihan. Anshel menambahkan, penggemar film Die-hard mungkin memperoleh manfaat dari dramatisasi atau adegan kekerasan yang ada atau Anda bisa menjadikanya petunjuk bahwa mata butuh latihan. Untuk sekarang, mungkin Anda tidak merasa terjadi sesuatu saat menonton film 3D. Kelak, ruang tamu Anda bisa membuat Anda sakit, lantaran televisi 3D segera hadir.
Sumber : http://adsense-charmins.blogspot.com/2010/07/efek-samping-menonton-film-3d-alert.html
18 February 2011
Cara Kerja dan Efek Samping Kacamata 3D dan Film 3D ! ( Alert )
Posted by BINA CELL on 4:42 PM
0 komentar:
Post a Comment